Mungkin kalau saya adalah orang yang gampang bosan, itu benar adanya. Tapi bosan saya pasti beralasan.
Begini, saat saya ada di semester akhir kuliah S1, teman dekat saya menghubungi saya, katanya saya mau ditawari mengganti posisinya sebagai guru di sebuah sekolah swasta, alasannya dia sudah diterima kerja di tempat lain. Itu kalau saya lolos wawancara. Saya jawab iya. Justru jawaban iya dari saya membuat dia terkejut, karena saya dikenal sebagai mahawiswa bebas tak terikat (di jamannya) yang tak mau masuk dalam sistem. Saya lolos wawancara dan kemudian masuk kerja seminggu kemudian.
Karena masih training, saya harus mempelajari dahulu bagaimana sistem dalam sekolah, atmosfernya, interaksi siswa dan gurunya, banyak hal. Baru dua minggu kemudian (kalau tidak salah), saya dapat jadwal mengajar. Rasanya? Luar biasa menantang.
Saya harus belajar untuk terbiasa bicara menggunakan bahasa Jawa halus kepada sesama guru dan wali siswa, juga menghafal beberapa hadis (karena kebetulan sekolah saya saat itu memang sekolah islam plus). Saya juga harus membiasakan diri untuk tidak ceplas-ceplos kalau bertutur kata. Semua serba menantang.
Gaji? Gaji untuk training mungkin sama dengan jumlah gaji guru honorer di sekolah lain di masa itu, tapi itu sudah saya ketahui sebelum saya bilang setuju untuk bergabung. Jadi, itu soal konsekuensi. Saya ambil pekerjaan itu, dan saya tahu berapa gaji yang akan saya dapatkan, no need to complain. That's a choice.
Setahun kemudian, saya mulai dapat seragam, dan gaji dengan standard sekolah swasta yang layak. Saya juga tidak pernah keluar uang buat makan, karena makan sudah ditanggung sekolahan. Sebenarnya nasib saya saat itu enak sekali, apalagi teman seangkatan kuliah saat itu ada yang belum mendapatkan pekerjaan.
Namun, di tahun kedua saya memutuskan untuk sekolah lagi. Saya merasa semangat sekolah itu muncul lagi. Dan akhirnya saya tinggalkan masa bekerja saya sebagai seorang guru, yah guru GTT. Menyesal? Tidak. Saya berusaha untuk tidak pernah menyesali setiap keputusan yang saya ambil dalam hidup.
Singkat cerita, lima tahun kuliah S2, thesis saya belum juga rampung. Bahkan diundang kampus pun untuk diberi suntikan semangat tak juga membuatku merampungkan thesis. Sampai di pertengahan tahun 2017, setelah saya seminar thesis, saya kekeh untuk tidak lanjut sampai akhir dan memilih untuk pergi ke sebuah event global yang cuma seminggu. Menyesal? Sekali lagi, semua soal pilihan dan konsekuensi.
Setahun berlalu, saya kadang juga masih kangen masa-masa kuliah kalau sedang melihat drama korea, eh. Tapi begitulah pilihan hidup. Lalu kuliahmu tak terpakai dong? Sayang dong ilmunya?
Tidak ada ilmu yang tidak terpakai. Perbedaannya hanya soal bagaimana kita memperlakukan ilmu tersebut. Saya belajar untuk menyampaikan sesuatu secara sistematis lantaran kuliah S2 itu, pun kesukaan saya membaca referensi berbahasa Inggris juga karena kuliah itu.
Apapun pilihan hidup, jalani, dan pahami setiap konsekuensinya. Menyesal atau tidak, itu soal pilihan sikap.
Begini, saat saya ada di semester akhir kuliah S1, teman dekat saya menghubungi saya, katanya saya mau ditawari mengganti posisinya sebagai guru di sebuah sekolah swasta, alasannya dia sudah diterima kerja di tempat lain. Itu kalau saya lolos wawancara. Saya jawab iya. Justru jawaban iya dari saya membuat dia terkejut, karena saya dikenal sebagai mahawiswa bebas tak terikat (di jamannya) yang tak mau masuk dalam sistem. Saya lolos wawancara dan kemudian masuk kerja seminggu kemudian.
Karena masih training, saya harus mempelajari dahulu bagaimana sistem dalam sekolah, atmosfernya, interaksi siswa dan gurunya, banyak hal. Baru dua minggu kemudian (kalau tidak salah), saya dapat jadwal mengajar. Rasanya? Luar biasa menantang.
Saya harus belajar untuk terbiasa bicara menggunakan bahasa Jawa halus kepada sesama guru dan wali siswa, juga menghafal beberapa hadis (karena kebetulan sekolah saya saat itu memang sekolah islam plus). Saya juga harus membiasakan diri untuk tidak ceplas-ceplos kalau bertutur kata. Semua serba menantang.
Gaji? Gaji untuk training mungkin sama dengan jumlah gaji guru honorer di sekolah lain di masa itu, tapi itu sudah saya ketahui sebelum saya bilang setuju untuk bergabung. Jadi, itu soal konsekuensi. Saya ambil pekerjaan itu, dan saya tahu berapa gaji yang akan saya dapatkan, no need to complain. That's a choice.
Setahun kemudian, saya mulai dapat seragam, dan gaji dengan standard sekolah swasta yang layak. Saya juga tidak pernah keluar uang buat makan, karena makan sudah ditanggung sekolahan. Sebenarnya nasib saya saat itu enak sekali, apalagi teman seangkatan kuliah saat itu ada yang belum mendapatkan pekerjaan.
Namun, di tahun kedua saya memutuskan untuk sekolah lagi. Saya merasa semangat sekolah itu muncul lagi. Dan akhirnya saya tinggalkan masa bekerja saya sebagai seorang guru, yah guru GTT. Menyesal? Tidak. Saya berusaha untuk tidak pernah menyesali setiap keputusan yang saya ambil dalam hidup.
Singkat cerita, lima tahun kuliah S2, thesis saya belum juga rampung. Bahkan diundang kampus pun untuk diberi suntikan semangat tak juga membuatku merampungkan thesis. Sampai di pertengahan tahun 2017, setelah saya seminar thesis, saya kekeh untuk tidak lanjut sampai akhir dan memilih untuk pergi ke sebuah event global yang cuma seminggu. Menyesal? Sekali lagi, semua soal pilihan dan konsekuensi.
Setahun berlalu, saya kadang juga masih kangen masa-masa kuliah kalau sedang melihat drama korea, eh. Tapi begitulah pilihan hidup. Lalu kuliahmu tak terpakai dong? Sayang dong ilmunya?
Tidak ada ilmu yang tidak terpakai. Perbedaannya hanya soal bagaimana kita memperlakukan ilmu tersebut. Saya belajar untuk menyampaikan sesuatu secara sistematis lantaran kuliah S2 itu, pun kesukaan saya membaca referensi berbahasa Inggris juga karena kuliah itu.
Apapun pilihan hidup, jalani, dan pahami setiap konsekuensinya. Menyesal atau tidak, itu soal pilihan sikap.
Comments
Post a Comment