Saya pernah mikir, apakah ada orang di dunia ini yang hidupnya selalu senang dan bahagia? Jika uang bisa membeli kebahagiaan, maka orang kaya pastinya menjadi kelas nomor satu dari populasi manusia bahagia dong ya harusnya? Tapi kenapa ada orang kaya tidak bahagia? apakah uangnya kurang banyak?
Saya jadi ingat, suatu kali saudara datang mengunjungi rumah tempat tinggal saya setelah menikah. Memang untuk ukuran orang kabupaten rumah yang saya tinggali saat ini tergolong kecil, sangat kecil malah. Hanya ada dua kamar, satu ruangan kecil di bawah tangga yang saya fungsikan sebagai mushola dan sebuah ruang tamu kecil. Dapur? ada sekedarnya di sebuah teras. Sementara kamar mandi 'nebeng' dengan saudara ipar.
Dari sorot mata saudara kondisi saya memang 'menyedihkan'. Tapi mau bagaimana lagi? Hidup berumah tangga harus siap dengan konsekuensi apapun bukan? Saya pikir itu adalah resiko ketika saya memilih untuk tidak kembali ke rumah orang tua. Sebagai anak bungsu, orang tua sering meminta untuk kembali ke rumah dan menjadi anak bungsu yang 'fitrahnya' adalah sebagai anak pengurus orang tua. Meski sejujurnya hati sering bergejolak, apakah yang saya lakukan ini benar? Apakah seharusnya saya pulang ke rumah dan mengurus kedua orang tua? Lalu bagaimana dengan keberlangsungan hidup saya sendiri?
Suatu hari saya pernah mengutarakan kegelisahan itu pada seorang psikolog senior, kata Beliau mengikuti Suami itu sudah pilihan yang benar, ditambah itu ada dalam ajaran agama Islam. Saya menimbang-nimbang perkataan Beliau. Meski tetap ada yang bergejolak di hati, tapi saya tetap merasa bahwa mungkin saya butuh waktu sambil melihat situasi. Rumah orang tua saya dekat dengan kedua saudara saya. Artinya, masih ada anak di sekitar mereka. Setidaknya itu yang selalu saya pikirkan ketika sedang gundah.
Entah sejak kapan orang mulai memiliki teori bahwa anak bungsu adalah anak yang harus jaga rumah orang tua?
Comments
Post a Comment