"Tunggu di situ sampai aku datang, jangan pindah," katanya di ujung telpon.
Saya menunggunya di pinggir jalan, di atas sepeda motor yang tiba-tiba mogok, tak mau jalan. Jam menunjuk pukul setengah sepuluh malam lewat. Dari seberang jalan, para pedagang baju mulai melipat dagangan mereka dengan rapi, menyusunnya ke atas gerobak, dan menutupnya dengan kain tebal. Di belakang pojokan jalan, dua orang sedang berkasak kusuk tentang kehidupan, bukan bicara soal dolar naik atau tentang peristiwa hoax soal operasi wajah, bukan tentang itu. Mereka adalah pedagang kripik ketela dan cilot. Hanya berbicara tentang cuaca malam yang merambat jadi lebih dingin. Iya, sampai tak terasa angin menembus jaket gelembung yang saya pakai.
Saya mulai mengusir kecemasan dengan menyibukkan diri bermain ponsel. Mengecek Instagram, meminta seseorang menemani ngobrol lewat wa, agar saya tetap terlihat sibuk. Pukul sepuluh malam lebih, dia tak kunjung datang, saya mulai gelisah. Takut ada orang yang kasak kusuk tentang saya, perempuan yang sedari sejam tadi duduk di atas motor sendirian, menunggu seseorang datang.
Kenapa tak meminta tolong orang sekitar?
Percuma. Ini sudah malam, tak ada bengkel buka, pun jalan satu-satunya yang saya inginkan adalah PULANG. Jarak dimana saya berhenti dan rumah sebenarnya tak cukup jauh, sekira 20 menit perjalanan normal. Tapi ini sudah malam, tak mungkin saya mendorong motor sendirian.
Seorang laki-laki berjaket cokelat tanpa helm akhirnya datang menghampiri, saya senang bukan main. Akhirnya saya bisa pulang.
Dia mendorong knalpot motor saya dengan kakinya. Jalanan gelombang, lampu merah, kami hanya diam saja. Saya hanya sempat berkata bahwa saya baru saja ikut siaran radio di kota, tak ada respon. Dia tak berkata apa-apa selain "Jangan minggir-minggir, nanti jatuh," hanya itu, selama perjalanan sampai rumah yang memakan waktu hampir sejam.
Begitulah dari dulu kami. Kepedulian kami satu sama lain tak pernah berwujud kata-kata. Seperti saat saya membelikan dompet di hari ulang tahunnya karena saya tak tega melihat dompet yang dia pakai sudah sobek. Itupun saya juga canggung memberikan padanya secara langsung.
Atau, saat dia langsung menggendong saya ketika saya di antar orang pulang ke rumah karena pingsan di jalan. Selalu tanpa kata-kata, hanya berupa perbuatan.
Saya bahkan sempat menangis saat akhirnya dia pamit menikah. Bukan tidak rela, tapi saat itulah saya menyadari bahwa perhatiannya, waktunya, dan semuanya tidak akan lagi sama seperti sebelumnya.
Namun, malam ini dia menjelma jadi laki-laki yang sama seperti saat saya kecil yang merengek minta tolong karena takut jatuh saat naik pohon jambu. Dia membantu saya turun dengan perlahan. Tanpa kata-kata, cukup berbuat sebisanya.
Dia adalah kakak terbaik yang saya miliki.
*catatan tadi malam sesaat setelah sampai rumah di pukul setengah dua belas malam.
Jadi siapakah dia itu ahahaj ?
ReplyDeleteKakak itu. Di kalimat paling akhir sudah ada 😬
Delete