Saat saya sedang dekat laki-laki di masa kuliah dulu, saya selalu mengatakan pada mereka baik secara terang-terangan atau implisit bahwa saya tidak memasak. Berlindung di kata tidak memasak rasanya lebih aman daripada terus terang bahwa saya memang jarang mengunjungi dapur. Alasan seriusnya adalah saya 'trauma'. Saat kecil saya sering dibentak Ibu saat saya ke dapur. "Nanti gosong," atau "nanti gak mateng", atau "kamu apa bisa?" saya jadi minder masuk dapur. Dapur menjelma menjadi sebuah ruangan yang selalu menyisakan luka batin.
Saya tidak masalah dengan perkataan orang tentang saya yang tidak bisa memasak, masak perempuan nggak bisa buat begini begitu, alias saya bodo amat. Jadi, saat saya dekat dengan laki-laki lalu ia mengharuskan calon istri atau pasangan yang 'memasak' untuknya, saya langsung berkata, "Sorry, I can't cook, what you say?" Kalau ia langsung 'swipe left' artinya memang ia bukan untuk saya.
Sampai saya pernah ketemu seorang laki-laki baik yang bilang tak masalah saya tak bisa masak, asal mau mencoba kenapa enggak. Kami berjanji untuk membuat sebuah ruangan kecil di rumah yang kelak diberi label nama "Ruang Percobaan Memasak". Sayangnya, takdir berkata lain, dan kami tidak bersama.
Beberapa tahun kemudian, seorang laki-laki datang mendekat dengan kebiasaan makan masakan rumah. Ia jarang makan di luar kecuali saat bertemu dengan tamu luar kota atau acara tertentu. "Nggak masalah," katanya saat saya bilang saya tidak bisa memasak, "Semua hal bisa dilatih atau dicoba". Lima tahun kemudian kami akhirnya menikah.
Di minggu pertama kami menikah, saya tidak memasak. Lalu kami pindah ke lantai atas. Sebuah teras kecil disulap oleh suami menjadi dapur yang cukup untuk saya belajar memasak. Awalnya saya selalu mengecek video YouTube atau mencontek resep dari Cookpad. Setiap merajang bumbu saya selalu hitung takarannya. Kadang enak kadang juga tidak pas rasanya. Namun dukungan dari orang terdekat adalah support system yang kuat.
Lama-lama saya terbiasa memasak, apalagi suami suka masakan bersantan yang saya buat. Saya mulai suka memasak lodeh bersantan sejak jarang pulang ke rumah Blitar. Karena tidak punya memori masakan yang enak dari Ibu, saya hanya mengingat kenangan masakan dari nenek. Dan itu cukup membantu untuk recook masakan tradisional berkuah.
***Tulisan ini tanpa proses editing. Saya sedang membiasakan menulis. Terima kasih telah membaca.
Comments
Post a Comment